2.18.2010

Aw Gue Jadi Puitis

Tragedi Gulali

Gelap hari itu lampu berkedip
Ribuan suku berpacu berebut hiburan
Sekonyong-konyong datang jiwa rawit beserta induk
Jiwa melesat kepada tukang pandai bermanis
Menarik lengan baju hasrat bertukar
Khawatir peruncing rusak, induk tolak gagasan
Jiwa ajukan tetap setiap seperseratus menit
Hati baja induk kuasa mendengarnya
Amuk leduk jiwa paksa ke lumpang
Jiwa menderap mengambil sebilah tuas
Dituasnya peruncing pun merah meleleh
Tali syaraf bergelantung dinamis
Dengan pelupuk memanas, jiwa berkata
"Ibu tidak perlu khawatir, gigiku sudah tidak
ada semua, jadi gulali bukanlah masalah.
Sekarang, belikan aku satu"

----------------------------------------------

Veteran Dibalik Kaca

Kami miris dengar mereka di medan ranjau
Badan ini hasrat menyeruak serbu seberang
Mereka berlapis darah sedang kami debu
Angin lantunkan peluh ke tanah lahirnya
Adrenalin desirkan denyut juang di nadinya
Kami?
Kosong ...
Hanya kosong ...
Akan selamanya kosong ...
Sebuah derita pilu biru kami desiskan
Barisan ini meratap tegap ganduli senapan
Hanya almari kaca yang tahu kisah barisan kami
Sebab kami lah barisan veteran tak beranjak
Kami lah veteran dibalik kaca itu

--------------------------------------------

Pundi Fiktif Si Tunas

Lontar ayah, dulu kapas langit putih tak beriak
Terawang ruang sibak tirai pemisah temukan harta
Bisik ibu, dulu hijau merekah luas
Aum dan kicau berpadu bentuk melodi
Namun kini sejauh horison terpapar hanya ada kapas pudar,
Segerombol garong sergap angkasa
Sejauh tumpun menampak jejak,
Apa? Bahkan tumpuanku tak dapat tempat lagi
Penuh sesak barisan roda pilar berdempet
Tanya diri, kemana perginya replika citra surga itu?
Sebab diri ingin mencicipi tetesan nikmat sajian Agung
Tapi diri ini hanya dibekali sebongkah pundi fiktif belaka
Hingga habis daya ini, diri melaju tetap
Tuk dapatkan kaya susu madu tunas kedua

Tolong kasih kritik dan saran untuk puisi-puisi diatas. Ayo coba tebak masing-masing puisi menceritakan tentang apa...... HEHEHEHEHE SEKIAN.
© A Myriad of Words
Maira Gall