7.10.2013

Oddisey 2013 Panca Kelana!

Langsung saja ya, aku rindu tampil lagi! Aku rindu Oddisey! Aku rindu Panca Kelana! Aku rindu Dwani Sasmaya! Aku rindu Theresia, Miranti, kak Rey, dan Cumi! Aku rindu menggesek biola! Aku rindu bertatap mata dengan penonton di detik-detik awal pertunjukan! Aku rindu mendengar "ohhh" dan "hahaha" atau "ciee" dari penonton! Aku rindu check sound dan protes kalau suara biolanya kekecilan! Aku rindu menggesek biola penuh haru pas bagian epilog dan curtain call! Aku rindu berkutat dengan MuseScore dan membuat sebuah komposisi! Ah! Aku rindu semuanya. Serindu itu. Saking rindunya ada satu kata-kata indah yang pernah ditulis Tedo di Path dan cukup membuat frustasi:

"Don't cry because it's over, but smile because it happened"

{Bermain Minnion pas lagi latihan strings}

{ini album kami, Panca Kelana Motion Soundtrack}

{Violinists and Violists}

{Momen ketika Gladi Bersih}

{kya!}

{Detik-detik menghadapi muka penonton pertama kali}

{Kami lah para pemusik Dwani Sasmaya!}

EVERY MOMENT WE SHARED AND COMPOSITION WE MADE ARE MASTERPIECE.

7.01.2013

H-4 Oddisey Show "Panca Kelana"

Malam! Tanpa basa-basi, gue mau sedikit menorehkan pengalaman gue di SBM, apalagi gue adalah tipe orang yang sangat amat pikun bahkan melebihi nenek-nenek renta sekalipun. Gue tentunya tidak mau, apa yang sudah lalui, terbuang sia-sia. Jadi, gue menyempatkan sedikit waktu untuk berkisah dan inilah kisahnya.

Pertama kali gembar-gembornya Oddisey Show "Panca Kelana" (acara annual-nya SBM ITB, terkait dengan charity) gue bingung banget mau daftar jadi apa. Sempat terpikir untuk jadi pemeran drama, tapi orang bilang ekspresi gue bocor. Terus pengen banget daftar jadi tim musik dan main piano, tapi udah ada dewa piano di SBM yang sungguh unbeatable, jadi gue urungkan niat hingga salah seorang sahabat mengajak saya untuk daftar ke tim musik tapi........main biola.

Gue pun menganga.

"Lha gue kan gak bisa main biola!", ia pun menjawab, "Ih dicoba dulu, gampang kok, lo pasti bisa". Lalu datang lah Head Music Director (baca: seekor paus yang terdampar di daratan), lalu ia menawarkan gue untuk jadi pemain biolanya dengan embel-embel, "Lo kan jago main biola, Cha!". Setelah menganga untuk yang kedua kali, gue jawab dengan ragu-ragu, "iya deh gue mau". Yang ada di otak gue saat itu cuma 2: Satu, saat lu main musik dan lu yakin dengan musik yang lu mainkan, gak peduli apapun alat musiknya, lu pasti bisa maininnya. Dua, gue harus buru-buru liat "how to learn violin fastly" di Youtube.

Intinya, suka-dukanya belajar biola dalam jangka waktu 2 minggu itu (2 minggu itu untuk Mini Oddisey, semacam Oddisey versi pendek) banyak banget lho. Mulai dari jari yang kapalan, tangan yang pegel, beli shoulder rest biar leher gak capek, ngebiasain baca violin sheet dan mengenal istilah-istilahnya macam arco, pizzicato,slur; nyamain bowing, dll. Bersyukur banget ada Oddisey, tanpa ini, mungkin biola gue bakal tersimpan rapi di deket meja belajar sampai debuan. 

Selain nambah di skill, gue merasa punya keluarga tambahan di sini, senang sekali! Mulai dari Widya, seorang sahabat yang senantiasa memberi gue support, setia nemenin gue dalam segala keharuman dan kebusukan, yang menjadi partner gue sebagai penanggung jawab divisi strings. Lalu ada Tedo, selaku ikan paus terdampar yang selalu menjadi sosok ayah, sahabat, partner bermusik yang asyik, yang gue harapakan mimpinya di dunia musik bisa tercapai karena mirip sama mimpi gue, bedanya gue gak bisa mewujudkan mimpi gue terkait satu dan lain hal. Godjali, mahabrata dewa piano yang gue agung-agungkan, yang ternyata adalah seorang yang sangat berprinsip dalam menjalani kehidupan ini, yang menjadi bahan bully-an atas kejombloannya selama beberapa abad. Ara, sesama tim musik dari Persembahan Angkatan SMAN 1 Depok, senang bisa mengenal beruang kutub yang satu ini lebih dalam. Daaan masih banyak adik, kakak, saudara, saudari lainnya: Fathiya, Erin, Arif, Sena, Novis, Nia, Carla, Uyo, dan Azhar. Terimakasih atas 2 bulan yang sangat berharga, dari masih rempong bikin partitur sampe jam 3 pagi, rempong nyamain musik sama dramanya, rempong ngehubungin outsource tercinta, rempong ngejilid buku partitur dan memberi nama sanskerta "Dwani Sasmaya" (Suara yang Indah) bagi tim musik Panca Kelana, rempong ngurus rekaman bersama abang Dajjal yang baik hati, sewot bareng pas dibilang tim musik tuh kerjanya dianggap santai, dianggap yang paling nggak capek, dll dll dll yang tidak sanggup gue jabarkan karena bisa menghabiskan seluruh hidup gue. Oke lebay.

Terserah apa pendapat orang di luar sana, tapi begitu gue bekerja bersama tim ini, gue merasa bersyukur dan amat bangga karena gue bisa bekerja di bidang dimana passion gue berada, bersyukur juga karena 13 kepala lainnya adalah orang-orang dengan passion yang sama dengan gue. Bukankah itu adalah anugerah? Hal lain yang selalu terngiang adalah jargon tim musik itu sendiri: When We Believe Music Fade In, Magic Begins. Itulah yang akan gue pegang untuk kedepannya. Karena musik itu sendiri sudah menjadi nadi gue, maka gue akan terus berkarya di ranah permusikan sampai kapan pun dengan segenap hati dan jiwa. Selamat malam dan semangat hingga pertunjukan megah kita dilaksanakan!


© A Myriad of Words
Maira Gall