Dari dulu hingga sekarang mata ini tetap mengawasi,
Mata ini menyaksikan ratusan siluet datang dan pergi, menangis dan ditangisi, bekerja dan terduduk, bahkan ada yang tersenyum dan terdiam
Semua ditangkap mata dengan jelas hingga keriput mereka pun tak luput,
Ada masa ketika mata ini menyaksikan seseorang pergi dan tak kembali,
Mata melihat hati berduka atasnya,
Namun ia hanya sanggup berbisik, "relakanlah, ia pernah ada untuk menguatkan mu. Kini ia pergi untuk menguatkan dirinya sendiri"
Ada masa ketika mata ini melihat belasan jiwa tertatih-tatih, berpeluh, lalu setelahnya mereka bersorak dan berpesta karena segala sudah usai,
Mata saling menatap dengan yang lain dan berbisik, "kalian yang pernah menang, menangkanlah lagi! Lewatilah ratusan poros kehidupan karena kalian tak akan jatuh!"
Ada masa ketika mata harus merelakan mata di seberang tertutup,
Tidak akan dilihatnya lagi pantulan bayangannya di mata yang lain itu,
Yang ia tahu, raganya mematung, diam, kaku, tak bergeming,
Sambil tertunduk, ia katakan pada kaki, "jalanlah, seberapa susah kamu melangkah, jalanlah. Jalan, itulah arti hidup. Aku disini"
Ada masa ketika mata mengenal sepasang Adam dan Hawa,
Mereka membantunya menafsir hidup,
Mereka mengajaknya berlari, terbang, menyusup, berenang, mendaki,
Rasanya mereka memberi spektrum baru untuk retina,
Rasanya pembuluh darah merekah dan darah mengalir deras,
Ia bahagia!
Mata ini girang bukan main dan tak akan lupa rasanya dibangkitkan hingga ia bersorak, "Andai Tuhan lihat ini, akan dikembalikanNya lagi kalian ke Negeri Eden! Kalian lah kebangkitan ku!"
Ada masa ketika mata ini menangkap gelapnya malam di muka sahabatnya,
Ada masa ketika mata ini melihat keangkuhan,
Ada masa ketika mata ini pantulan bayanga si penipu,
Selalu ada masa bagi mata untuk menjadi saksi,
Dan sekali lagi ia harus tetap memerhatikan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Cha, nulis buku dong. Kumpulan puisi juga boleh Cha.
ReplyDelete@Hana Noviandina: buset deh kagak jago nyong. sampah ini puisi2 gue haha
ReplyDelete