8.19.2016

Dari "Hantu" untuk Indonesia

(Baru sadar akhir-akhir ini kalau ngeblog pakai kata "saya" instead of "gue". Sok formal banget ya padahal isinya mah sampah, yang baca juga nyamuk malaria doang. Mau balik lagi ah make "gue) ((serah lu Cha))

Sehari sebelum hari kemerdekaan RI ke 71, gue menelpon beberapa tempat print yang selama ini jadi langganan untuk menanyakan jam buka di hari libur nasional esok hari. Tempat print yang paling andalan ternyata tutup (sedih pake banget). Dan tempat print kedua ternyata buka bahkan sampai jam 12 malam. Tempat print yang kedua ini tipe franchise gitu, belum pernah nyobain yang cabang Depok tapi yang cabang Jaksel khususnya Wolter Monginsidi (deket kosan dulu waktu magang) itu terpercaya banget hasil dan service nya meski agak mahal. Lumayan lah, batin gue. Gue sangat butuh jasa print bagus untuk kertas karton demi terciptanya perdamaian antar galaksi. Ih apasih. Demi kelancaran les desain mendesain gue yang saat ini sedang memperlajari media promosi dan packaging. Begitu. Gue gak mau mengambil risiko ngeprint di tempat print sembarangan, takut hasilnya gak klimaks dan malah mengecewakan guru gue yang super perfeksionis.

Singkat cerita, tepat di tanggal 17 Agustus jam 6 sore gue sudah tiba di tempat printing. Bertanya ke customer care kalau mau ngeprint file ready-to-print dengan tinta berwarna diatas karton gimana. Gue pun disuruh antri karena yang on going ngeprint lagi banyak banget, ujar si mbak. Duduk lah gue menunggu panggilan antrian. Emang gak dikasih kertas antrian sih, beda sama sistem tempat print andalan gue yang ngasih nomor antrian. Pikir gue, yaa si mbak hafal lah ya muka gue, cantik begini.  Sejam pun berlalu. Gue mulai gelisah karena banyak anak-anak mahasiswa baru (maba) dari universitas Depok-Jakarta (EHEM) yang asal nyerobot langsung ke lantai dua (tempat printing berwarna) dan langsung kelar, abis itu masuk lagi segerombolan yang lain begitu terus berulang kali. Gue bingung dong, loh kok mereka boleh langsung masuk, padahal si mbak customer care ngeliat gue kok, wong gue duduk di bangku yang deket meja dia. Gue pun bertanya apakah gue sudah bisa keatas atau belum. "Maaf belum bisa. Barusan aja operatornya bilang masih penuh". Lalu gue duduk lagi. Dengan penuh ketabahan hati gue menunggu sambil menggengam flashdisk berisi 2 file PDF packaging. Dua jam berlalu. Dua setengah jam berlalu. Untung gue bawa kacang pilus kalau nggak gue mungkin udah mati kelaparan (anaknya gampang laper nih, maaf). Tapi bener deh, makin lama, gak cuma maba universitas Depok-Jakarta itu yang langsung nyerobot keatas, bapak-bapak ibu-ibu juga. Apa cuman gue yang gak ngerti sistem disini ya...Di detik-detik menuju tiga jam menunggu, dengan perasaan kesal gue pun nanya dengan suara agak tinggi, "mbak, ini beneran saya harus nunggu selama ini? Gini deh, saya tinggal flashdisk saya, tolong diprint, saya ambil besok pagi. Buka jam berapa sih besok?" "Besok buka jam 7 mbak. Em...tunggu sebentar lagi aja ya mbak, gimana?" Gue pun melengos dan memutuskan untuk langsung naik ke atas. Di atas emang ada beberapa bocah-bocah maba yang lagi dilayanin operator, begitu 1 operator sudah selesai melayani 1 bocah maba, gue langsung nyerobot dan bilang "mas saya nunggu lama banget dibawah, katanya penuh mulu. Saya cuman mau ngeprint 2 file dan dua-dua nya ready to print. Saya mending tinggalin flashdisk dan ambil besok atau saya tunggu?" "oh kalau ready to print mah tunggu aja mbak". Gak nyampe 5 menit urusan kelar. Terus gue cengo.

Di mobil gue masih cengo banget parah. Depok emang cuman secuil wilayah bagi Indonesia, tapi bisa jadi kota kecil ini merefleksikan apa yang terjadi seutuhnya di negara ini. Bukan bermaksud mengeneralisasi, tapi menurut gue faktanya emang begini: hidup jadi orang baik di Indonesia itu tersiksa. Gue udah berusaha sabar dengan menunggu dan mengantri. Tapi hak gue dilukai oleh orang-orang yang gemar nyerobot. Gue pun sudah berusah gak emosi, tapi gue justru gak diperhatikan. Gue HARUS nyelak antrian dan HARUS emosi supaya gue mendapatkan hak gue. Gue tahu gue juga salah karena akhirnya gue melakukan hal-hal negatif itu. Dan memang bisa kita lihat akhir-akhir ini, orang baik di Indonesia kayak makin sedikit. Makin terkikis karena perjuangan menjadi orang baik disini itu sangat berat. FYI mbaknya juga gak minta maaf lho. Tidak ada siapapun yang meminta maaf disana, Mungkin gue dianggap hantu atau secuil customer yang gak guna ke cash flow mereka. Datang ataupun engga, gue gak terlalu berdampak. Mungkin itu juga yang mayoritas kita sebagai Indonesia pikirkan, kita mengangap yang penting itu diri kita doang. Yang lain itu sampah. Gak heran banyak yang korupsi, wong yang dipikirin perut sendiri doang. Kadang keluarga yang rela nungguin di rumah juga gak dipikirin, yang penting perut sendiri kenyang, nilai sendiri bagus, gaji sendiri naik terus, dan sebagainya. 

Sebagai penutup, gue cuman ingin mengajak kita semua (iya, gue dan nyamuk malaria yang baca blog ini ((masih mending dianggap nyamuk, daripada gue dianggap hantu)) untuk terus mengevaluasi diri. Jangan cepat puas dengan  apa yang sudah kita capai karena sesungguhnya (kalau gue boleh jahat), kita baru bergerak secuil diantara negara-negara lain yang hari merdekanya sama dengan kita atau mungkin lebih lama tapi lebih sejahtera hidupnya, lebih maju peradabannya, lebih bermartabat akhlaknya, dan lebih punya nurani. Selain itu, hargailah orang-orang yang baik di sekitar kita. Yang mau kerja tulus memajukan Indonesia. Yang legowo meski haknya dilukai. Mereka adalah minoritas dan kalau mereka punah, matilah kita. Sekian dan dirgahayu Indonesia ku.

No comments

Post a Comment

It would be nice to share thoughts, right? Anyway, if you feel attached with my articles and eager to get a quick response, do not hesitate to email me in clarissa.affandi@gmail.com. I will reply as fast I could.

© A Myriad of Words
Maira Gall